Pages

Jumat, 04 September 2015

Cerita Macatn Timpakng Penunggu Doriq Sadayakng

Jika anda berpergian menyusuri ruas jalan trans Kalimantan dan melewati Balai Semandang, Kab. Ketapang, akan melihat gugusan pegunungan yang terdapat di bagian kiri dari arah Pontianak dan arah Kanan jika dari Ketapang. Gunung tersebut terlihat begitu jelas diamati, bentuknya menyerupai persegi panjang.


Kondisi Gunung ini, masih terlihat menghijau dengan keindahannya, maklum masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat disekitarnya, yakni dusun Deraman. Di gunung ini banyak terdapat pohon durian, jika tiba musimnya selalu ramai didatangi warga. Dibagian kaki pegunungan ini terdapat banyak sawah yang sudah dikelola dengan menerapkan Panca Usaha Tani. Dan sebagai salah satu lumbung padi di Kec. Simpang Hulu.

Bahkan air dari pegunungan ini telah memberikan kontribusi besar bagi kebutuhan hidup sehari-hari bagi sebagian besar warga sekitarnya. Namun, dibalik keindahan  Gunung  Sedayang tersebut terdapat cerita yang tidak semua masyarakat mengetahuinya. Seperti apa cerita tentang legenda Penunggu Gunung Sedayang? Berikut kisahnya.  
  
Pada jaman dulu masyarakat Dayak Semanakng seringkali melakukan perburuan untuk mencari lauk guna memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan seringkali menginap di hutan demi mendapatkan hewan buruan yang diinginkan. Salah satu tempat mangkal berburu favorite yakni di daerah yang dinamakan Pagontikng Palome (pertemuan dua bukit) di arah menuju ke kec. Simpang Dua sekarang ini.
G. Sedayakng : Menyimpan misteri sekaligus
           berkah kehidupan bagi warga sekitarnya
Foto : Deden Onya Ngoto

Ditempat ini terdapat Bagan (pondok) yang setengah permanen atapnya dibuat dari kulit kayu namun tidak berdinding. Pondok ini sudah dikenal oleh warga yang bepergian dan akan menginap untuk beberapa hari lamanya ditengah hutan. Hewan buruan terbilang masih mudah untuk dicari ditempat ini, makanya tidak heran setiap bulan selalu saja ada yang pergi berburu kesini.

Namun suatu ketika tempat ini sudah tidak aman lagi untuk didatangi, pasalnya setiap orang yang pergi dan menginap baik seorang diri maupun berdua pasti tidak akan kembali lagi. Jika yang berpergian mencapai 3 orang atau lebih biasanya akan aman-aman saja. Sudah beberapa orang yang menginap disini tidak pernah lagi kembali membuat masyarakat resah. Apa yang menjadi penyebabnya. Mereka pun bertanya-tanya ada mahkluk apa yang memangsa?

Lama-kelamaan suatu ketika ada seorang yang bernama Birang bersiap untuk berburu dan menginap di Palome. Mengetahui dia akan pergi warga pun melarang agar sebaiknya jangan pergi sendirian. “Birang kamu jangan pergi kesana sudah banyak masyarakat yang tidak lagi kembali ke kampung setelah dari Palome. Dan sebaiknya kamu mengajak kawan lainnya,” ujar warga. Larangan warga itu tidak digubrisnya. “Ya, ndak apa-apa biarkan saja. Saya sendiri saja perginya. Kalau Tuhan mengijinkan saya pasti akan hidup dan pulang kembali kesini,” kata Birang.

Birang pun melanjutkan perjalanan sesampainya di Palome dia membersihkan lingkungan Pondok dan menghidupkan api pembakaran untuk mengusir nyamuk. Saat sore telah tiba, sekitar pukul 4 datang  seseorang berperawakkan sedang yang menggunakan Jampulau (pengikat kepala) di pinggangnya terselip sebilah Nyabor (sebutan lain untuk Mandau). “ehh,,kamu kah Birang!

Saya boleh ikut disini gak,”ujar orang tersebut. Dalam hati Birang koq orang tersebut tau nama dirinya. “iya saya Birang, silakan kalau mau bergabung dengan saya,”sahut Birang. Mereka pun bercakap-cakap sambil berbagi tugas. Birang khusus menunggu di Pondok, sedangkan orang tersebut bertugas mencari hewan buruan. Tak lama kemudian datanglah orang tersebut membawa babi hutan kira-kira seberat 40 kg.

Birang pun mengerjakan dan membersihkan hasil buruan tersebut, namun anehnya luka yang terdapat pada babi hutan tersebut tidak seperti kena tombak ataupun parang melainkan berbentuk bulat saja. Dari situlah Birang pun mulai mencurigai,bahwa orang tersebutlah sebagai pelaku pembunuhan warga yang sering berburu di tempat itu.

Saat menjelang malam, tiba-tiba orang tersebut merasa ngantuk dan berujar kepada Birang dirinya akan tidur dulu. Birang pun mempersilakannya untuk tidur di tempat yang sudah disediakan oleh Birang sebelumnya yakni, beberapa kayu bulat yang diikat dengan rotan dibentuk menyerupai tikar. Rupanya di kayu pembakaran Birang sudah di campurnya dengan ramuan Palokapm (pelelap tidur) yang membuat mata mengantuk untuk cepat tidur.

Alhasil orang tersebut pun terlelap hingga dia tidak menyadari posisi tubuhnya sudah dibalutkan dengan kayu yang sudah diikat dan tidak bisa bergerak lagi. Menjelang tengah malam, barulah dia tersadar dari tidurnya. Lalu memohon ampun kepada Birang agar jangan membunuh dirinya. Birang pun mengambil sebatang tombak dan bersiap-siap untuk menghujam ke badan orang tersebut. Sambil berkata. “Engkaulah orang yang biasa membunuh warga kami yang datang kesini. Maka akan ku habisi,”tegasnya.

Orang tersebut pun memohon ampun agar tidak dibunuh, sebagai imbal baliknya maka dia tidak akan lagi memangsa manusia. Oleh Birang maka di tendangnya kaki orang tersebut,lalu patahlah kakinya. Orang tersebut pun berujar setelah dan sejak saat ini namanya adalah Macatn Timpakng (Macan berkaki timpang) dan diceritakannya asal usul dia berasal dari daerah Kapuas beristrikan anaknya kek Pateh Angakng di Gunung Sedayang. Sejak saat itu warga pun aman tidak ada lagi yang hilang jika berburu ke hutan Palome semua itu berkat jasa Birang.

Maka, demi mewujudkan janjinya kepada Birang untuk tidak memangsa manusia lagi Macan ini seringkali memberikan batu-batuan sebagai pelengkap Boretn. Bahkan dalam Rayah (lantunan) Boretn Komakng Tubaaq  ada nyanyian khusus yang berjudul “Takng Kagentakng Macatn Timpakng Doriq  Sadayakng” sebagai lantunan untuk memanggilnya dalam setiap ritual pengobatan, maka kemudian dijadikan Banyawe( penolong) bagi para sebagian Boretn hingga kini. Tidak hanya Rayah, dalam kesenian Kasebetn pun ada juga  lantunan Macatn Timpakng ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar