Jika anda berpergian menyusuri
ruas jalan trans Kalimantan dan melewati Balai Semandang, Kab. Ketapang, akan
melihat gugusan pegunungan yang terdapat di bagian kiri dari arah Pontianak dan
arah Kanan jika dari Ketapang. Gunung tersebut terlihat begitu jelas diamati,
bentuknya menyerupai persegi panjang.
Kondisi Gunung ini, masih
terlihat menghijau dengan keindahannya, maklum masih dipelihara dengan baik
oleh masyarakat disekitarnya, yakni dusun Deraman. Di gunung ini banyak
terdapat pohon durian, jika tiba musimnya selalu ramai didatangi warga.
Dibagian kaki pegunungan ini terdapat banyak sawah yang sudah dikelola dengan
menerapkan Panca Usaha Tani. Dan sebagai salah satu lumbung padi di Kec.
Simpang Hulu.
Bahkan air dari pegunungan ini
telah memberikan kontribusi besar bagi kebutuhan hidup sehari-hari bagi
sebagian besar warga sekitarnya. Namun, dibalik keindahan Gunung
Sedayang tersebut terdapat cerita yang tidak semua masyarakat
mengetahuinya. Seperti apa cerita tentang legenda Penunggu Gunung Sedayang?
Berikut kisahnya.
Pada
jaman dulu masyarakat Dayak Semanakng seringkali melakukan perburuan untuk
mencari lauk guna memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan seringkali menginap di hutan
demi mendapatkan hewan buruan yang diinginkan. Salah satu tempat mangkal
berburu favorite yakni di daerah yang dinamakan Pagontikng Palome (pertemuan dua bukit) di arah menuju ke kec.
Simpang Dua sekarang ini.
G. Sedayakng : Menyimpan misteri sekaligus berkah kehidupan bagi warga sekitarnya Foto : Deden Onya Ngoto |
Ditempat
ini terdapat Bagan (pondok) yang
setengah permanen atapnya dibuat dari kulit kayu namun tidak berdinding. Pondok
ini sudah dikenal oleh warga yang bepergian dan akan menginap untuk beberapa
hari lamanya ditengah hutan. Hewan buruan terbilang masih mudah untuk dicari
ditempat ini, makanya tidak heran setiap bulan selalu saja ada yang pergi
berburu kesini.
Namun
suatu ketika tempat ini sudah tidak aman lagi untuk didatangi, pasalnya setiap
orang yang pergi dan menginap baik seorang diri maupun berdua pasti tidak akan
kembali lagi. Jika yang berpergian mencapai 3 orang atau lebih biasanya akan
aman-aman saja. Sudah beberapa orang yang menginap disini tidak pernah lagi
kembali membuat masyarakat resah. Apa yang menjadi penyebabnya. Mereka pun
bertanya-tanya ada mahkluk apa yang memangsa?
Lama-kelamaan
suatu ketika ada seorang yang bernama Birang bersiap untuk berburu dan menginap
di Palome. Mengetahui dia akan pergi warga pun melarang agar sebaiknya jangan
pergi sendirian. “Birang kamu jangan pergi kesana sudah banyak masyarakat yang
tidak lagi kembali ke kampung setelah dari Palome. Dan sebaiknya kamu mengajak
kawan lainnya,” ujar warga. Larangan warga itu tidak digubrisnya. “Ya, ndak
apa-apa biarkan saja. Saya sendiri saja perginya. Kalau Tuhan mengijinkan saya
pasti akan hidup dan pulang kembali kesini,” kata Birang.
Birang
pun melanjutkan perjalanan sesampainya di Palome dia membersihkan lingkungan
Pondok dan menghidupkan api pembakaran untuk mengusir nyamuk. Saat sore telah
tiba, sekitar pukul 4 datang seseorang berperawakkan
sedang yang menggunakan Jampulau
(pengikat kepala) di pinggangnya terselip sebilah Nyabor (sebutan lain untuk Mandau). “ehh,,kamu kah Birang!
Saya
boleh ikut disini gak,”ujar orang tersebut. Dalam hati Birang koq orang
tersebut tau nama dirinya. “iya saya Birang, silakan kalau mau bergabung dengan
saya,”sahut Birang. Mereka pun bercakap-cakap sambil berbagi tugas. Birang
khusus menunggu di Pondok, sedangkan orang tersebut bertugas mencari hewan
buruan. Tak lama kemudian datanglah orang tersebut membawa babi hutan kira-kira
seberat 40 kg.
Birang
pun mengerjakan dan membersihkan hasil buruan tersebut, namun anehnya luka yang
terdapat pada babi hutan tersebut tidak seperti kena tombak ataupun parang
melainkan berbentuk bulat saja. Dari situlah Birang pun mulai mencurigai,bahwa
orang tersebutlah sebagai pelaku pembunuhan warga yang sering berburu di tempat
itu.
Saat
menjelang malam, tiba-tiba orang tersebut merasa ngantuk dan berujar kepada
Birang dirinya akan tidur dulu. Birang pun mempersilakannya untuk tidur di
tempat yang sudah disediakan oleh Birang sebelumnya yakni, beberapa kayu bulat
yang diikat dengan rotan dibentuk menyerupai tikar. Rupanya di kayu pembakaran
Birang sudah di campurnya dengan ramuan Palokapm
(pelelap tidur) yang membuat mata mengantuk untuk cepat tidur.
Alhasil
orang tersebut pun terlelap hingga dia tidak menyadari posisi tubuhnya sudah
dibalutkan dengan kayu yang sudah diikat dan tidak bisa bergerak lagi.
Menjelang tengah malam, barulah dia tersadar dari tidurnya. Lalu memohon ampun
kepada Birang agar jangan membunuh dirinya. Birang pun mengambil sebatang
tombak dan bersiap-siap untuk menghujam ke badan orang tersebut. Sambil
berkata. “Engkaulah orang yang biasa membunuh warga kami yang datang kesini.
Maka akan ku habisi,”tegasnya.
Orang
tersebut pun memohon ampun agar tidak dibunuh, sebagai imbal baliknya maka dia
tidak akan lagi memangsa manusia. Oleh Birang maka di tendangnya kaki orang
tersebut,lalu patahlah kakinya. Orang tersebut pun berujar setelah dan sejak
saat ini namanya adalah Macatn Timpakng
(Macan berkaki timpang) dan diceritakannya asal usul dia berasal dari daerah
Kapuas beristrikan anaknya kek Pateh
Angakng di Gunung Sedayang. Sejak saat itu warga pun aman tidak ada lagi
yang hilang jika berburu ke hutan Palome semua itu berkat jasa Birang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar