Keramat Batu Tamongokng terletak di daerah Tamongokng aliran Sungai
Lelayang sekitar kurang lebih 30 Km dari Balai Semandang. Keramat ini memiliki
ke-unikkan tersendiri, yakni menyerupai kotak persegi empat disekelilingnya berbentuk
pagar batu. Ada cerita yang berkembang dimasyarakat di kampung Pantong, batu
itu merupakan jelmaan jasad orang yang bergelar Tamongokng.
Meninggal saat berburu kehutan didaerah
itu ratusan tahun silam, jasadnya tidak sempat dibawa dan ditinggalkan
sementara kemudian jadilah batu. Uniknya lagi disekitar tempat tersebut hanya
itulah satu-satunya batu yang ada, persis berada di pinggiran anak sungai
Lelayang.
Bisa jadi kalau dirunut sejarah
batu tersebut adalah peradaban massa pra sejarah Megalitikum. Perlu di teliti
lagi dengan lebih detail dan dikaji lebih lanjut. Namun apapun itu masyarakat
punya cerita tersendiri tentang asal
–usul batu tersebut. Berikut kisahnya.
Alkisah
pada jaman dahulu ada tiga orang yang berburu ke hutan tujuan mereka adalah daerah
aliran sungai Lelayang. Mereka menempuh perjalanan dari daerah Piasak Lamayong (sekarang daerah
Belonse). Jalan yang mereka tempuh berupa hutan belantara yang lebat dan belum
pernah di jamah oleh manusia. Setelah seharian berjalan kaki, mereka pun
akhirnya sampai lah di tempat yang dituju.
Batu
Tamongokng : Batu Tamongokng
berbentuk segi empat kotak
dilihat secara keseluruhan
|
Setelah
merasa cocok menemukan tempat untuk bermalam, ketiganya pun bersepakat untuk
membuat bagatn (pondok) atapnya
menggunakan kulit kayu. Setelah semuanya selesai dan siap, mereka pun berburu babi hutan dan
memancing ikan. Maklum jaman itu untuk mendapatkan hewan buruan begitu mudahnya
dan memancing pun tidaklah sulit untuk mendapatkan ikan yang diinginkan.
Tak
terasa mereka sudah beberapa hari berada di hutan. Maklum karena begitu
mudahnya mendapatkan hewan buruan menjadi lupa untuk pulang. Dan mereka pun
dapat hasil begitu banyak sesuai dengan yang diinginkan. Hasil buruan tersebut
mereka keringkan dengan cara di asapin dengan api. Biar memudahkan untuk
membawanya kelak pulang nanti.
Berbentuk pagar : sisi kiri batu yang berbentuk pagar |
Setelah
hari yang disepakati untuk pulang tiba, mereka pun bersiap-siap. Namun,
alangkah terkejutnya salah satu dari mereka itu, yakni yang bernama Kontup
mengalami sakit perut. Dan tiba-tiba saja meninggal dunia, kedua orang temannya
pun begitu kalut, panik dan kebingungan menghadapi situasi yang demikian.
Mereka
berdua bersepakat untuk menyusul keluarga almarhum yang meninggal tersebut.
Satu orang pergi ke arah Piasak Lamayong,
dan satu orang lagi pergi memberitahukan ke kampung Banjur. Karena Kontup berasal dari daerah Banjur yang menikah di
wilayah Piasak Lamayong.
Alhasih
tianggallah jasad itu saja yang masih tertinggal ditengah hutan. Setelah
masing-masing dari mereka sampai ke kampung dan memberitahukan sama sanak
keluarga, bergegaslah mereka untuk mengambil jasad tersebut. Namun alangkah
terkejutnya mereka ketika sampai di lokasi peletakkan jasad. Bukannya jasad yang ada melainkan sebuah batu. Dan
mereka pun kaget bukan kepalang, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Bentuk batu tamongokng dilihat dari atas |
Maka
kemudian pulanglah mereka kerumah masing-masing. Salah seorang dari mereka pun
bermimpi “jika ada orang yang meninggal jangan lah sesekali untuk ditinggalkan
begitu saja, harus ada orang yang menjaganya. Apalagi jasad itu ditinggalkan
sendirian di tengah hutan harus ada orang yang menungguinya” begitu isi dari
mimpi tersebut. Sejak saat itu maka batu tersebut kemudian diberi nama sesuai
dengan gelar adat orang yang meninggal yaitu Batu Tamongokng.
Batunya
hingga kini masih ada dan terpelihara dengan baik, persis berada di pinggir
sungai Tamongokng anaknya sungai Lelayang.
Bahkan sejak dulu dijadikan tempat orang-orang yang berburu kehutan untuk baniat. Memohon bantuan agar diberi
kemudahan rejeki mendapatkan hewan buruan.
Ritual Adat Molas Angko Tautn yang dilaksanakan setiap bulan Mei |
Sampai
sekarang pun setiap tahun tepatnya bulan Mei diadakan ritual Molas Angko Tautn (Membalas niat) oleh masyarakat yang bermukim di sepanjang
aliran sungai Lelayang. Ini sebagai
upaya salah satu mengungkapkan syukuran atas hasil panen yang sudah didapatkan
serta mendamaikan hubungan manusia dengan alam. Juga sebagai salah satu cara
menjaga situs bersejarah agar terpelihara dengan baik.
Mantap nyen
BalasHapus