Pages

Sabtu, 06 Juni 2015

Batu Keramat Tamongokng : Peradaban Pra Sejarah Megalitikum

Keramat  Batu Tamongokng  terletak di daerah Tamongokng aliran Sungai Lelayang sekitar kurang lebih 30 Km dari Balai Semandang. Keramat ini memiliki ke-unikkan tersendiri, yakni menyerupai kotak persegi empat disekelilingnya berbentuk pagar batu. Ada cerita yang berkembang dimasyarakat di kampung Pantong, batu itu merupakan jelmaan jasad orang yang bergelar Tamongokng.


Meninggal saat berburu kehutan didaerah itu ratusan tahun silam, jasadnya tidak sempat dibawa dan ditinggalkan sementara kemudian jadilah batu. Uniknya lagi disekitar tempat tersebut hanya itulah satu-satunya batu yang ada, persis berada di pinggiran anak sungai Lelayang.

Bisa jadi kalau dirunut sejarah batu tersebut adalah peradaban massa pra sejarah Megalitikum. Perlu di teliti lagi dengan lebih detail dan dikaji lebih lanjut. Namun apapun itu masyarakat punya  cerita tersendiri tentang asal –usul batu tersebut. Berikut kisahnya.

Alkisah pada jaman dahulu ada tiga orang yang berburu ke hutan tujuan mereka adalah daerah aliran sungai Lelayang. Mereka menempuh perjalanan dari daerah Piasak Lamayong (sekarang daerah Belonse). Jalan yang mereka tempuh berupa hutan belantara yang lebat dan belum pernah di jamah oleh manusia. Setelah seharian berjalan kaki, mereka pun akhirnya sampai lah di tempat yang dituju.
Batu Tamongokng : Batu Tamongokng
 berbentuk segi empat kotak dilihat secara keseluruhan


Setelah merasa cocok menemukan tempat untuk bermalam, ketiganya pun bersepakat untuk membuat bagatn (pondok) atapnya menggunakan kulit kayu. Setelah semuanya selesai dan  siap, mereka pun berburu babi hutan dan memancing ikan. Maklum jaman itu untuk mendapatkan hewan buruan begitu mudahnya dan memancing pun tidaklah sulit untuk mendapatkan ikan yang diinginkan.

Tak terasa mereka sudah beberapa hari berada di hutan. Maklum karena begitu mudahnya mendapatkan hewan buruan menjadi lupa untuk pulang. Dan mereka pun dapat hasil begitu banyak sesuai dengan yang diinginkan. Hasil buruan tersebut mereka keringkan dengan cara di asapin dengan api. Biar memudahkan untuk membawanya kelak pulang nanti. 
Berbentuk pagar : sisi kiri batu yang berbentuk pagar


Setelah hari yang disepakati untuk pulang tiba, mereka pun bersiap-siap. Namun, alangkah terkejutnya salah satu dari mereka itu, yakni yang bernama Kontup mengalami sakit perut. Dan tiba-tiba saja meninggal dunia, kedua orang temannya pun begitu kalut, panik dan kebingungan menghadapi situasi yang demikian.

Mereka berdua bersepakat untuk menyusul keluarga almarhum yang meninggal tersebut. Satu orang pergi ke arah Piasak Lamayong, dan satu orang lagi pergi memberitahukan ke kampung Banjur. Karena Kontup berasal dari daerah Banjur yang menikah di wilayah Piasak Lamayong.

Alhasih tianggallah jasad itu saja yang masih tertinggal ditengah hutan. Setelah masing-masing dari mereka sampai ke kampung dan memberitahukan sama sanak keluarga, bergegaslah mereka untuk mengambil jasad tersebut. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika sampai di lokasi peletakkan jasad. Bukannya  jasad yang ada melainkan sebuah batu. Dan mereka pun kaget bukan kepalang, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Bentuk batu tamongokng dilihat dari atas


Maka kemudian pulanglah mereka kerumah masing-masing. Salah seorang dari mereka pun bermimpi “jika ada orang yang meninggal jangan lah sesekali untuk ditinggalkan begitu saja, harus ada orang yang menjaganya. Apalagi jasad itu ditinggalkan sendirian di tengah hutan harus ada orang yang menungguinya” begitu isi dari mimpi tersebut. Sejak saat itu maka batu tersebut kemudian diberi nama sesuai dengan gelar adat orang yang meninggal yaitu Batu Tamongokng.

Batunya hingga kini masih ada dan terpelihara dengan baik, persis berada di pinggir sungai Tamongokng anaknya sungai Lelayang. Bahkan sejak dulu dijadikan tempat orang-orang yang berburu kehutan untuk baniat. Memohon bantuan agar diberi kemudahan rejeki mendapatkan hewan buruan.
Ritual Adat Molas Angko Tautn
yang dilaksanakan setiap bulan Mei



Sampai sekarang pun setiap tahun tepatnya bulan Mei diadakan ritual Molas Angko Tautn (Membalas niat) oleh masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran sungai Lelayang.  Ini sebagai upaya salah satu mengungkapkan syukuran atas hasil panen yang sudah didapatkan serta mendamaikan hubungan manusia dengan alam. Juga sebagai salah satu cara menjaga situs bersejarah agar terpelihara dengan baik. 

1 komentar: